Oleh : W. B. Padmawiryanta
Kesenian
dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi
masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para
penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka
banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai
pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara
di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni
lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa
sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di
Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih)
mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin
bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para
seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia
ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang
bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi
seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang
berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada
seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka
suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut
biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya
pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi),
pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta
benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng).
Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…), dan beras sekar
ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh
digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya
seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang
masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan
pewintenan (upacara
penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam
sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang
berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau
sesudah tari wali itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini
diciptakan manusia, tetapi karena sudah merupakan konsensus dari masyarakat
pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat khusus di hati masyarakat dalam
kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip
dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu
diciptakan oleh Dewa Brahma, dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian
kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan
mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh
memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga
tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar